Lagu Ibu Kita Kartini akrab dilantunkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Sejak SD, kita sudah familiar dengan sosok Kartini, yang digambarkan sebagai wanita berkebaya dengan senyum anggun. Berbagai lomba selalu diadakan pada hari Kartini: memasak, pakaian adat, dll. Tapi apakah kita benar-benar mengenal siapa Kartini? Kita sering mendengar buku kumpulan surat “Habis Gelap Terbitlah Terang” di sebut-sebut dalam buku pelajaran. Tapi apakah pernah kita membacanya langsung? Apakah kita mengenal tulisan-tulisannya?
Dan pertanyaan terbesar hari ini, Mengapa Indonesia memanggilnya ibu?
Pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Kartini tak lepas dari kritik. “Kartini adalah pahlawan dibesarkan Belanda,” demikian argumen dari sejarawan Harsja W. Bachtiar. Tapi benarkah? Apakah itu karena Kartini tidak memikul senjata? Apakah karena dia berteman dengan orang-orang Belanda? Apakah karena Kartini akhirnya tunduk kepada keinginan ayahnya untuk menikah dan menjadi istri kesekian, sesuatu yang dia kritik sangat keras? Mengapa kita memanggilnya Ibu padahal dia lahir dari keluarga bangsawan di mana hanya sebagian kecil dari seluruh rakyat Indonesia lahir dengan keberuntungan seperti itu?
Jadi mengapa Kartini layak menjadi Ibu Kaum Wanita Indonesia?
1. Kartini mendobrak feodalisme. Kartini bergelar Raden Ajeng. Tapi dia meminta dipanggil Kartini saja. Surat kepada Stella Zeehandelaar sahabat penanya di Belanda pada 25 Mei 1899 Kartini menulis, “Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku.”
Kartini mengizinkan adik-adiknya memanggil dengan kata “kamu”. Kartini juga meminta adik-adiknya tidak perlu bicara dengan kromo inggil atau bahasa halus, dan tidak perlu melakukan sembah setelah berbicara.
Ketika memandang kenyataan bahwa orang-orang yang lebih tua darinya harus menyembah dirinya karena kebangsawanannya, dia menulis, “Sangat tertusuk perasaan saya melihat orang-orang yang lebih tua dari saya berjongkok-jongkok untuk saya.” suratnya kepada Stella 12 Januari 1900.
Tindakan Kartini itu revolusioner. Sebelumnya, tak pernah terjadi perubahan sedrastis itu dalam kehidupan kaum ningrat Jawa, tutur penulis Sitisoemandari Soeroto dalam buku Kartini: Sebuah Biografi.
2. Kartini cerdas, mencintai buku, dan kritis. Kartini mulai menulis pada tahun 1895, saat dia berusia hanya 16 tahun, tulisannya mengenai upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Sejarawan Didi Kwartanada, mengatakan bahwa artikel tersebut luar biasa dan bisa dibilang sebuah karya ilmiah. Kartini “Bukan hanya wartawan pertama, tapi juga antropolog pertama Indonesia,” mengutip kata-kata Didi.
16 tahun adalah usia remaja, itu setara dengan kelas satu SMA atau kelas 10. Berapa banyak dari kita, anak-anak kita, murid-murid kita, para perempuan, yang sudah mulai menulis pada usia 16 tahun? Baiklah tidak perlu menulis, bagaimana dengan membaca? Berapa banyak dari perempuan-perempuan Indonesia yang sudah melek huruf mau membaca minimal satu buku dalam satu bulan?
“Kami suka sekali akan bacaan; membaca karya-karya bagus adalah kenikmatan kami yang utama. Yang kami maksud adalah adik-adik perempuan saya dan saya sendiri.” Tulis Kartini dalam suratnya kepada Stella, 25 Mei 1899.
Kartini melukis dan menggambar, tapi dia mengaku lebih tertarik kepada pena yaitu menulis daripada kepada pensil. 1 Oktober 1902 dalam suratnya kepada Stella:
“Barangkali orang mengira apabila mereka berulangkali meyakinkan kepada saya bahwa tulisan saya “bagus” akan membuat saya senang. Apa gunanya itu bagi saya? Saya ingin tulisan saya tetap berkesan, Stella, dan dalamnya hanyalah dicapai dengan penggalian. Hati saya, jiwa saya harus disungkur, digali. Dan kalau dari situ darah bersembur seperti pemancar air, barulah tulisan itu mempunyai nilai yang tetap. Menyedihkan, tetapi nyata.”
3. Kartini menjunjung tinggi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Suratnya kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri pada Agustus 1900: “Saya sayang kepada perempuan, saya menaruh perhatian besar kepada nasibnya. Tidak terbilang perempuan, saya menaruh perhatian besar kepada nasibnya. Tidak terbilang perempuan yang ditindas, suatu perlakuan yang masih terdapat di pelbagai negeri dalam abad terang ini, saya bela dia dengan senang dan setia.”
Kartini pada akhirnya memang menikah dengan Raden Mas Djojoadiningrat demi Sang Ayah, tapi sebelum menikah, Kartini dengan berani mengajukan syarat-syarat, salah satunya yang dianggap sangat radikal adalah menyangkut upacara pernikahan, Kartini tidak mau ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria. Dia juga ingin berbicara dalam bahasa Jawa ngoko dan bukan kromo inggil kepada suaminya, Baginya seorang istri haruslah sederajat.
“Aku akan mengajari anak-anakku, baik laki-laki maupun perempuan untuk saling menghormati sebagai sesama dan membesarkan mereka dengan perlakuan sama sesuai dengan bakat mereka masing-masing” tulisnya kepada Stella pada tanggal 23Agustus 1900.”
Lanjut ke (Bagian 2)