6 Alasan Mengapa Kartini Menjadi Ibu Perempuan Indonesia (Bagian 2)

Hari Kartini tidak hanya sekedar soal baju kebaya dan sanggul. Atau fashion show baju adat yang sering diadakan di sekolah-sekolah atau perkantoran. Kartini hidup selama 25 tahun. Begitu singkat, tapi ide dan tulisan-tulisannya tak lekang oleh zaman. Kita memanggilnya Ibu bukan karena dia dipotret dengan memakai kebaya. Tapi karena hal-hal yang dilakukannya, menjadikan negeri ini sebuah negeri di mana wanita mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Jadi mengapa Kartini layak menjadi Ibu Kaum Wanita Indonesia?

4.    Kartini mengharuskan wanita untuk terdidik karena mereka akan menjadi ibu. “Dari perempuan manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata. Dan makin lama makin jelas bagi saya, bahwa pendidikan yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?” begitu dia menulis kepada Nyonya Rosa Abendanon-Mandri pada 21 Januari 1901.

Coba kita bayangkan bagaimana rasanya menjadi Kartini pada masa itu. Bagaimana kira-kira reaksi dan tekanan sosial yang diberikan oleh masyarakat sekitar pada seorang perempuan yang dianggap telah melangkahi kodratnya?

Di usianya yang ke-24 tahun pada masa itu, Kartini sudah dijuluki perawan tua karena belum menikah. Dan bukannya menikah, dia malah berusaha mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke Belanda. Sebuah mimpi yang keterlaluan! Dan bukannya berhenti sampai di situ, dia malah membuka sekolah untuk perempuan. Apa-apaan sih ini?! Mungkin orang-orang sekitarnya tak habis pikir. Sebuah impian yang gila bukan? Tapi perempuan yang memiliki gagasan sinting pada zamannya ini telah mewariskan pada Indonesia sebuah landasan tentang sekolah bagi kaum wanita. Dia tak peduli dengan cibiran dan gosip yang dilancarkan kepadanya. Baginya perempuan harus bersekolah. Harus belajar. Karena itu, syarat lainnya yang dimintanya untuk pernikahannya adalah meminta suaminya mendukung cita-citanya. Membuka sekolah dan mengajar di Rembang sama seperti yang dilakukannya di Jepara. Sebuah permintaan yang berani.

5.    Kartini menentang poligami. “Tetapi dalam dunia kami tiap orang perempuan yang telah menikah mengetahui bahwa dia bukan satu-satunya istri suaminya. Dan bahwa hari ini atau besok, suami tercinta dapat saja membawa pulang seorang perempuan untuk jadi temannya. (….) Di kalangan bangsawan lebih-lebih dalam lingkungan Raja, laki-laki mempunyai sampai lebih dari 26 orang istri. Bolehkah keadaan ini berlangsung terus, Stella? Suratnya kepada Stella Zeehandelaar pada tanggal 23 agustus 1900.

Kartini mengkritik keras poligami tapi tidak berdaya melawannya. Adipati Djojoadiningrat memiliki tiga selir dengan tujuh anak. Kartini tidak mempunyai kekuatan melawan demi cintanya kepada ayahnya yang sakit. Kartini memutuskan untuk menikahi Djojoadiningrat, tapi bukannya tanpa pertimbangan dan negosiasi. Di suratnya kepada Nyonya N.van Kol 1 Agustus 1903, dia menulis tentang Djojoadiningrat, “sebenarnya dia adalah orang yang penyayang dan baik hati. Selain berbudi, otaknya tajam dan encer.” Suratnya kepada Nyonya Ovink-Soer pada 1903, perempuan yang dipanggilnya Moedertje atau Ibu Sayang, dia berkata: “Saya tidak bertindak buru-buru, lama saya berpikir, saya pertimbangkan melarat dan manfaatnya, kemudian saya memilih.”

Kartini menyerah tapi dia tidak kalah. Dia mempertimbangkan untung rugi menikahi Djojoadiningrat, dan demi ayah juga cita-citanya yang masih bisa dijalaninya dengan segenap hati, dia menikah pada tanggal 8 November 1903. Kepada Nyonya Abendanon-Mandri, dia berkata, “Jangan cemas; calon suami saya tidak akan membatasi gerak saya. Bahkan sebaliknya, karena cita-cita saya membumbung tinggi itulah, maka pandangan terhadap saya naik. Karena itu maka akan lebih banyak lagi kesempatan yang diberikan kepada saya akan diperluasnya.”

6.    Kartini Sang Bisniswoman yang tulus dan adil.
Sebuah kampung bernama Belakanggunung menarik perhatian Kartini. Kampung itu berisi para pengukir yang luar biasa tapi hidup miskin di gubuk bambu beratap daun nipah. Ukiran yang bernilai seni itu dijual murah di Jepara. Kartini tersentuh dan membuat kampanye, publikasi terhadap seni ukir Jepara itu dan para senimannya. Salah satu tulisannya adalah prosa berjudul Van een Vergeten Uithoekje atau Pojok Yang Dilupakan, tentang Jepara dengan seni ukir kayunya yang abadi. Prosanya mendapat simpati banyak orang. Dia menghubungi sahabat-sahabatnya di Batavia dan Semarang.

Kartini kemudian memanggil para pengukir Belakanggunung untuk menghadap ke Kabupaten. Mereka diberi tugas membuat furnitur, dari tempat rokok, tempat jahitan, hingga meja kecil. Lewat perantaraan Oost en West, barang-barang itu dijual Kartini ke Semarang, Batavia dan Belanda. Harganya jauh lebih mahal dibanding di Jepara. Usaha itu berkembang pesat. Pesanan membanjir dari mana-mana. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon, ia menulis: “Menggembirakan sekali, sekarang sudah ada tiga cangan kerajinan tangan di daerah saya yang mulai hidup kembali dan kami masih mencari lagi apa yang dapat dihidupkan kembali.”

Kartini adalah seorang perintis usaha yang cemerlang, Dia tergerak oleh ketidakadilan dan kemiskinan. Dia mempercayai bakat para seniman Belakanggunung harus dihargai lebih, dan mengusahakan kesejahteraan mereka dengan kemampuan, relasi yang dia miliki. Seorang bangsawan yang punya intuisi bisnis dan yang terutama peduli dengan penduduknya.

Hari itu tanggal 17 September 1904 setelah empat hari melahirkan anak satu-satunya Raden Mas Soesalit, Kartini mengeluh sakit di perutnya, dokter mencoba menolong tapi Kartini meninggal di tempat tidurnya, di pelukan suaminya Bupati Rembang Adipati Djojoadiningrat.
“Perubahan akan datang di Bumiputera,” Kartini menulis dalam surat kepada Stella pada 9 Januari 1901. “Jika tidak karena kami, pasti dari orang lain. Emansipasi telah berkibar di udara—sudah ditakdirkan.”

Karena itulah kita memanggi Kartini Ibu, karena Kartini adalah pendekar bagi kaumnya. Bagi kita Perempuan Indonesia.

Sumber:
Tempo, Gelap Terang Hidup Kartini, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2013.
Penerjemah: Sulastin Sutrisno, Emansipasi (Surat-surat kepada Bangsanya 1899-1904), Jalasutra, 2014.
Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Lentera Dipantara, 2012.

Baca juga: (Bagian 1)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s