
Serial Si Unyil
Masa kecilku, kurasa sama seperti jutaan anak-anak lainnya yang hidup di akhir tahun 80an dan awal 90-an. Karena game online baru akan ada puluhan tahun di masa depan, kami bermain lompat karet bersama teman-teman di lapangan, bermain petak umpet, galasin, congklak, dan selusin permainan tradisional lain. Kami juga punya acara favorit Si Unyil yang tayang di stasiun TVRI. Satu-satunya stasiun televisi waktu itu.
Pada saat itu kondisi keluargaku miskin tapi aku tak terlalu memusingkan keadaan tersebut. Mungkin karena masih anak-anak dan berada di lingkungan yang kurang lebih sama kadar keuangannya. Bagi kami sekeluarga adalah hal biasa memakan sepiring nasi yang dicampur dengan air hangat dan garam. Aku tak pernah merasa menderita. Mungkin juga itu disebabkan oleh ayahku yang selalu tersenyum saat tiba di rumah dari pekerjaannya menambal ban seharian.
Umurku sekitar tujuh tahun, jadi kurang lebih aku mengerti kalau ayahku capek dan sangat lapar. Tapi entah bagaimana caranya, dia membagi nasi yang tinggal sedikit di dandang dengan aku dan adik perempuanku. Raut wajahnya tampak tenang dan menyiratkan bahwa nasi yang sedikit itu cukup untuk memuaskan rasa laparnya. Kami pun makan dalam diam, sesekali ayahku bertanya tapi itu hanya pertanyaan rutunitasnya saja. Kadang-kadang aku tidak ikut makan, adik perempuanku yang lebih sering lapar daripada diriku. Dia langsung melompat dari tempat tidur kalau ayahku datang dan mengintilinya sampai ke dapur. Adikku akan memperhatikan ayah makan sambil cengar-cengir dan akhirnya ayah akan bertanya: ”Ade mau makan?” dia mengangguk dengan semangat. Melihat mereka makan dengan lahap nasi, air, dan garam itu, aku sudah senang. Mata adikku berbinar-binar bila bisa duduk menyuap nasi kemulutnya bersama ayahku, dan bagiku duduk menyaksikan mereka saja rasanya sudah cukup.
Soal menyoal kebutuhan pokok saja sudah menjadi tantangan untuk keluarga kami. Apalagi mengikuti tren yang sedang muncul saat itu, yaitu tv berwarna. Sebenarnya sih, tidak memiliki tv berwarna tak pernah membuatku gusar. Tak pernah, sampai pada suatu hari di hari Senin seorang teman sekelasku bertanya dengan riang di hadapan banyak orang.
”Ellen, apa kamu menonton Doraemon kemarin?” sontak aku tercenung. Aku bingung tak kepalang. Serius deh, Doraemon! Apa itu? Aku baru dengar.
Namun aku terpaksa mengangguk, karena semua temanku ada di situ. Dan aku merasa seperti terpojok jika tidak berbohong. Ternyata Doraemon adalah program acara yang dihadirkan di sebuah stasiun televisi baru yang cuma ada di TV berwarna. Semua teman-temanku berkerubung dan saling bercerita tentang si Doraemon.
Pulang ke rumah, aku langsung melapor kepada ibuku, ”Kita harus punya TV berwarna, supaya bisa menonton Doraemon!”
Akan tetapi tentu saja itu sebuah permintaan yang berlebihan mengingat situasi keuangan kami. Jadi aku harus menahan keinginanku itu entah untuk berapa lama. Karena merasa cerita-cerita teman-temanku tentang TV berwarna itu cukup hebat, semakin lama kulihat TV hitam putih kami, semakin jelek dan menyedihkanlah kondisinya di mataku. Televisi itu berukuran 14 inch terbungkus dengan kesatuan casing empat kaki dan terdapat pintu di kiri kanannya yang bisa ditarik seperti tirai untuk menutupi layar saat tidak dipakai.
Semakin hari tentu saja, aku tak sanggup lagi melewati hari minggu lain tanpa menonton Doraemon. Siapa sih Doraemon itu? Seperti apa rupanya? Aku sungguh terobsesi ingin melihatnya. Tapi tak berani menggali lebih dalam pada teman-temanku karena rasa malu yang tak tertahankan tidak memiliki sebuah TV berwarna. Hal itu semakin menjadi-jadi saat hampir semua tetangga-tetanggaku satu per satu membeli TV berwarna. Hanya aku seorang dirilah yang harus puas dengan TV hitam putih, dengan acara-acara yang kalah modern. Rasanya semakin hari semakin sedih, karena aku tahu kenapa ayahku tidak membelikan kami sebuah tv berwarna—dia benar-benar tidak punya uang.
Hari demi hari berlalu, kehidupan berjalan seperti biasa sampai suatu sore ayahku membawa sebuah kotak besar. Kotak itu berisi TV berwarna! Aku dan adik-adikku melompat-lompat girang. Aku akan segera menonton Doraemon! Tetangga-tetangga ikut berkerumun, maklumlah, rumah kontrakan kami saling berdempetan. Dalam beberapa hari TV berwarna itu sungguh terlihat menakjubkan! Benar-benar tak pernah terbayangkan di kepalaku. Bagaimana bisa orang mewarnai gambar-gambar bergerak itu, pikirku sangat keras suatu hari. Pokoknya saking terkagum-kagumnya, TV berwarna itu jadi begitu keras kerjanya, selalu menyala sampai larut.
”Wah…TV barunya Yeyen (panggilan kecilku) disetel non stop sampai siaran habis, pagi-pagi siaran baru dimulai sudah disetel, malamnya sampai siaran habis baru dimatikan. Senang banget ya punya tv baru,” komentar ibu tetangga samping rumahku suatu hari. Ibu itu tersenyum tapi aku tidak suka kata-katanya. Kata-kata itu seperti punya arti yang buruk dipendengaranku. Segera saja kuadukan pada ibuku. Sejak kejadian itu, hilanglah euforia TV berwarna di rumah kami dan kami harus menonton dengan volume yang sangat kecil.

Serial Doraemon. (Suneo, Nobita, Doraemon, Giant (dari kiri ke kanan))
Tak sabar menunggu Doraemon pertama kalinya, Aku dan adik-adikku sudah duduk rapi jauh sebelum programnya dimulai. Kemudian muncullah Doraemon. Ternyata dia adalah sebuah robot gendut yang lucu dengan suara serak sekaligus cempreng. Kami menonton Doraemon dengan serius seperti sedang memperhatikan guru yang mengajar sambil memegang penggaris kayu.
Besoknya, di sekolah tentu saja aku adalah orang yang paling vokal dalam menceritakan soal menyoal Doraemon. Sampai hari ini aku masih menyukai Doraemon. Doraemon menemani masa kecilku yang miskin. Dengan menontonnya, entah mengapa aku jadi merasa tidak miskin lagi.
Ellen-