Menuliskan dialog membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam dari pada sekedar menulis narasi atau aksi. Karakter-karakter dalam cerita dapat menjadi hidup atau gagal pada saat mereka berbicara. Namun, menempatkan kata-kata yang tepat pada bibir mereka tidak dapat dilakukan dengan asal-asalan. Dialog-dialog yang klise hanya akan membuat cerita menjadi hambar.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menulis dialog, yaitu:
1. Memiliki Tujuan yang Jelas
Untuk membangun cerita fiksi yang menarik, seorang penulis yang baik tidak akan membiarkan karakter-karakternya hanya mengobrol ngalor-ngidul. Dalam kejadian sehari-hari saja, percakapan tak tentu arah akan membosankan siapa pun, apalagi dalam dunia novel. Percakapan semacam ini akan membuat pembaca bosan dan berhenti membaca jauh sebelum cerita berakhir.
Oleh karena itu, jangan menulis dialog hanya demi sekadar mengisi ruang atau memajangkan cerita. Ingatlah bahwa karakter-karakter dalam sebuah novel tidak pernah hanya sekedar berbicara. Semua percakapan mereka mengandung tujuan.
Contoh:
“Wow, rupanya STG memang menginspirasi, harusnya aku ikut,” goda Miranda.
“Yeah…kau harusnya ikut,” Tofi tersenyum lebar.
“Aku sempat meneleponmu malam harinya setelah kemenanganmu, mau mengucapkan selamat, tapi spheremu tidak aktif,” suara Miranda terkesan kecewa.
“Maaf, aku mengalami malam yang buruk.”
Miranda mengangguk prihatin, dia menatap Tofi lekat-lekat, “Aku tidak menyangka ketua panitia kalian yang ada di balik ini semua, menyebabkan kalian dalam bahaya, untung kau tak apa-apa, eh…maksudku untuk kalian tak apa-apa,” Miranda tersenyum malu karena salah bicara.
Wajah Tofi memerah, “Engg…maaf sudah membuatmu kuatir.”
Tofi mendadak menggigit bibirnya, dan menyesal telah berkata begitu.
(…)
“Iya…itu jelas..kau memang membuatku kuatir.”
Perasaan Tofi melonjak mendengar kata-kata Miranda.
“Waktu aku nonton berita di TV, melihat rumah itu meledak dan terbakar, aku benar-benar takut. Aku juga marah pada kalian, kenapa sih kalian terlibat dalam pencarian permata tersebut? Memangnya permata itu sangat berharga sampai semua orang mencarinya?!”
Miranda kesal sekali, dia mengerutkan wajahnya pada Tofi.
Tofi tertawa sebentar. Kemudian melanjutkan ceritanya setengah berbisik, “Sebenarnya itu bukan permata biasa tapi itu cincin Newton…”
Tofi langsung bersemangat menceritakan segala aksi dan penyelidikannya di rumah penuh teror itu. Miranda mendengarkan dengan penuh perhatian, diam-diam ia mengaktifkan penyadap yang tersembunyi di balik gelangnya dan merekam semuanya.
Sumber: Tofi Perburuan Bintang Sirius.
2. Terdengar Alami Seperti Percakapan Sehari-hari, Tetapi Tidak Persis Sama
Ada perbedaan besar antara percakapan sehari-hari dengan dialog dalam novel. Percakapan sehari-hari biasanya berputar-putar ke mana-mana, sementara percakapan dalam novel memiliki fokus yang jelas. Di dalam novel, dialek, jargon, dan ungkapan-ungkapan non formal disesuaikan dengan gaya penulisan masing-masing penulis.
Contoh:
Versi Dialog Sehari-hari
“Bayangan telah memanjang ketika Kate menopangkan tubuh ke siku dan berusaha minum.
“Kate, kau nggak apa-apa? Tanya Peter. Kate mengangguk.
“Aku nggak menyangka kita terdampar ke masa lalu,” kata Kate setelah terdiam sejenak. “Pantesan aja semua orang bajunya bagus-bagus. Cara ngomong mereka juga aneh.”
“Aku kira orang-orang Derbyshire cara ngomongnya memang begitu,” kata Peter sambil menyeringai.
“Enak saja,” tukas Kate. “Oh ya, dan asal kau tahu, ayahku dan Dr. Williamson nggak sedang membuat mesin waktu. Mesin kayak gitu cuma ada dalam cerita.
Mereka cuma sedang mempelajari cara kerja gravitasi.”
“Bukan sedang, tapi akan,” Peter meralat. “Mereka akan mempelajari cara kerja gravitasi.”
Versi Dialog Dalam Novel
“Bayangan telah memanjang ketika Kate menopangkan tubuh ke siku dan berusaha minum.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Peter. Kate mengangguk. (…)
“Tersesat dalam waktu,” kata Kate setelah terdiam sejenak. “Kenapa aku tidak menyadarinya sejak tadi? Semua orang memakai baju bagus dan berbicara dengan cara aneh.”
“Kupikir memang seperti inilah cara bicara orang Derbyshire,” kata Peter sambil menyeringai.
“Enak saja,” tukas Kate, “Dan sebelum kau bertanya, ayahku dan Dr. Williamson tidak sedang membuat mesin untuk menembus waktu. Itu hanya ada dalam cerita. Mereka sedang mempelajari cara kerja gravitasi yang sesungguhnya.”
Sumber: Gideon The Cutpurse
3. Mengungkapkan Kepribadian dan Pemikiran Sang Karakter Dalam Cerita
Kepribadian karakter-karakter dalam sebuah cerita fiksi dapat direfleksikan lewat kata-kata yang mereka ucapkan. Dalam menuliskan dialog, seorang penulis perlu memikirkan bagaimana cara sang karakter berkata-kata sesuai kepribadiannya. Misalnya karakter yang pemalu tidak mungkin berbicara terlalu berterus-terang. Karakter yang lucu akan memiliki banyak kosakata konyol. Karakter penjahat akan berbicara dengan dingin dan mengancam. Pertimbangkan juga situasi yang sedang dialami sang karakter cerita. Apakah dia sedang sedih, gembira, marah atau takut?
Contoh:
“Oh…tidak…, bangunlah Will!” Billy menahan kesedihannya, saat hampir-hampir tidak merasakan hembusan napas William.
“Kau jangan mati dulu, kau masih muda dan kau belum punya pacar. Kau akan menyesal kalau kau mati tanpa menemukan cinta sejatimu, Will…,” Billy tertunduk, air matanya mentes, dia menarik napasnya yang sesak. Hening sejenak. “Aku ingin melihat wajah kakumu berubah menjadi konyol saat kau jatuh cinta, Will. Aku akan mencarikanmu pacar kalau kau tak sanggup … tapi kumohon … jangan mati Will.” (…)
“Will…”
“Ssst …berisik!” bibir William akhirnya bergerak menyambut semua kalimat konyol Billy.
“Kau masih hidup? Terimakasih Tuhan.”
“Kau menangis? Ya ampun Bill… apa kau pikir aku mati semudah itu?” William menggeleng-geleng saat melihat tetesan air yang menuruni pipi Billy.
“Tidak, ini keringat tahu!” Billy langsung mengusapnya.
“Sungguh persahabatan yang mengharukan,” Volkoff membuka kalimatnya diiringi oleh tawa cemooh.
“Ayahku komisaris polisi! Dia akan membuat perhitungan padamu, jangan kira kau akan lolos,” William tak segan-segan memperingati Volkoff meski bibirnya bergetar memberanikan diri.
Volkoff mencekik William, anak itu megap-megap mencari-cari udara. Kemudian dengan tatapan bengisnya Volkoff menyorongkan pisau ke lehernya, “Sudah puluhan polisi yang mati di ujung pisauku ini, ayahmu hanya akan menambah koleksiku.”
“Tolong, jangan bunuh dia, kau sebut saja apa yang kau inginkan.”
“Aku ingin kalian mati,” Volkoff melirik Billy.
Sumber: Tofi: Perburuan Bintang Sirius