Orion dan Alora tersesat dalam waktu. Terlempar ke zaman revolusi, di kota Pahlawan, Surabaya 1945. Berawal dari Alora menjual pedang samurai warisan neneknya kepada Hiru Asano, yang mengklaimnya sebagai pusaka keluarganya. Ternyata, pedang tersebut diperebutkan berbagai pihak. Mulai dari mafia abad 21, Black Sakura, komandan kempeitai Shoji Nomura, hingga Anthony van Der Vries, mantan pejabat intelijen Hindia Belanda.
Sebuah perjalanan tentang heroisme dan cinta sejati. Orion memendam pahit pada kata ‘pahlawan’ semenjak ayahnya tewas demi menyelamatkan orang lain. Apakah seorang pahlawan harus mati? Pertanyaan ini selalu mendorongnya untuk mencari tahu dan menggugat takdir. Pedang Sang Dewa Waktu bukan hanya menyesatkannya ke masa lalu, tetapi juga memisahkannya dari sahabat dan cinta masa kecilnya, Alora.
Tiba di sebuah kota yang kehilangan ribuan pahlawannya dalam satu hari, sebuah kota yang terkoyak-koyak oleh impian mempertahankan kemerdekaan, Orion berhadapan dengan pedihnya kehilangan dan merasakan mimpi buruk penjajahan sampai ke sel-sel tubuhnya. Bagaimana dia mampu menguasai amarah dan rasa pahitnya, memaksa dirinya untuk bersikap heroik? Apakah dia akan menemukan jawaban dalam pencariannya? Dan apakah harapannya untuk pulang bersama Alora dapat tetap bertahan setelah melalui pengkhianatan, pengorbanan dan pertempuran tragis?
Untuk membaca City of Heroes secara gratis, klik di sini
Untuk melihat latar belakang penulisan novel ini, klik di sini