Puisi-puisi Chairil Anwar yang Bikin Baper. “Sekali berarti. Sudah itu mati.”

Mampus kau dikoyak-koyak sepi  adalah salah satu kalimat dalam puisi Chairil Anwar yang paling saya ingat selain Aku ini binatang jalang. Si penyair bohemian yang merupakan pelopor angkatan 45 ini langsung mengubah aliran puisi masa itu untuk meninggalkan angkatan pujangga baru.

Chairil Anwar 1Tentu bukan kebetulan kalau hari puisi nasional diperingati bertepatan dengan tanggal kematian Chairil Anwar yaitu 28 April. Mengapa? Karena puisi-puisi Chairil memiliki sebuah jiwa pemberontakan, rasa pahit, dan menusuk langsung ke subyeknya. Tapi biarpun puisi-puisi Chairil seringkali didominasi oleh bahasa-bahasa ‘lancang’ dan berapi-api bukan berarti puisi-puisinya nggak bikin baper.

Jika Anda membaca puisinya, Anda tahu bahwa sajaknya begitu hidup, menghembuskan semangat, atau kepedihan yang begitu kental. Saya membaca salah satu puisi Krawang-Bekasi yang membuat Chairil dituduh plagiat dari puisi Archibald MacLeish The Young Dead Soldier, meskipun Chairil jelas mengambil kalimat- kalimat dalam puisi MacLeish tersebut tapi sulit bagi saya untuk melihatnya sebagai saduran, karena Krawang-Bekasi memiliki jiwa Chairil tapi The Young Dead Soldiers jelas tidak.

Dalam rangka hari puisi nasional, mengapa kita tidak melihat kembali puisi-puisi Chairil Anwar yang bikin baper. Biarkan sastra membawa kita sejenak untuk membaca kegelisahan zaman itu. Biarkan puisinya memberi inspirasi kepada kita, akan bahasa Indonesia yang kaya. Biarkan kita menyelami sebuah kebebasan dari seorang Chairil Anwar yang ingin hidup seribu tahun lagi.

Sia-sia (1943)

lonely-manPenghabisan kali itu kau datang

Membawa kembang berkarang

Mawar merah dan melati putih:

Darah dan suci

Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan: untukmu.

Lalu kita sama termanggu

Saling bertanya: apakah ini?

Cinta? Kita berdua tak mengerti.

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Dalam Kereta (1944)

Dalam kereta

Hujan menebal jendela

Semarang, Solo….makin dekat saja

Menangkup senja

Menguak purnama

Caya menyayat mulut dan mata

Menjengking kereta. Meng jengking jiwa

Sayatan terus ke dada.

cemara 1Derai-derai Cemara (1949)

Cemara menderai sampai jauh

Terasa hari akan jadi malam,

Ada beberapa dahan ditingkap merapuh

Dipukul angin yang terpendam.

Aku sekarang orangnya bisa tahan

Sudah berapa waktu bukan kanak lagi

Tapi dulu memang ada suatu bahan

Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

Tambah terasing dari cinta sekolah rendah

Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

Sebelum pada akhirnya kita menyerah

Yang Terampas dan Yang Putus

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku.

Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin.

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu

Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang.

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

Saya meletakkan puisi Yang Terampas dan Yang Putus diakhir karena Chairil seolah-olah mengetahui hidupnya begitu singkat dan dia ingin beristirahat di Karet. Meski Chairil Anwar mati muda, 26 tahun, tapi seperti dalam kutipan puisi Aku, dia berkata: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi,” melalui tulisan-tulisannya saya yakin dia bisa hidup seribu tahun lagi.

2 thoughts on “Puisi-puisi Chairil Anwar yang Bikin Baper. “Sekali berarti. Sudah itu mati.”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s