Mengapa kami memutuskan menulis Novel City of Heroes? Padahal selama ini genre fiksi sejarah kurang populer terutama di kalangan muda. Novel ini terinspirasi dari hasil wawancara saya (Sylvia) dengan Bapak Suhario Padmodiwiryo (alm) atau yang akrab dengan panggilan Hario Kecik untuk liputan peringatan Hari Pahlawan di Harian Jakarta Post pada tahun 2013. Pak Hario yang saat itu telah menginjak usia 90 tahun terlihat masih segar dan bersemangat. Sambil memperlihatkan bekas luka tembak yang dibanggakan, lukisan-lukisan pertempuran hasil karyanya yang menghidupkan masa lalu, beliau bercerita dengan seru.
Bukan hanya tentang suasana Surabaya yang panas setelah proklamasi kemerdekaan atau aksi spionase yang juga menegangkan, atau tentang bagaimana para pemuda berhasil merebut lebih dari 144.000 pucuk senjata dari gudang senjata Jepang untuk persiapan perang melawan sekutu. Tetapi cerita itu juga sangat manusiawi, tentang bagaimana rasanya memegang senjata dan belajar menembak untuk pertama kalinya, bagaimana mengikhlaskan para sahabat yang gugur di medan perang, cinta sejati, kisah-kisah lucu di tengah hiruk-pikuk pertempuran.
Cerita-cerita ini menginspirasi kami untuk menulis sebuah kisah fiksi, menghadirkan peristiwa 10 November dalam nuansa yang lebih modern. Pak Hario membagikan makna heroisme yang sangat berharga. Tanpa menggurui, beliau membuat kami terhenyak dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terpikirkan sebelumnya. What does it mean to be a hero? What does the Heroes Day mean to you personally?
Kami ingin kisah 10 November abadi dan tidak dilupakan selama Indonesia masih berdiri. Kami ingin generasi muda yang hidup di zaman ini kembali terinspirasi dengan apa yang dilakukan para pendahulu mereka. Betapa mudanya para pejuang yang gugur dalam perang 10 November. Toto Sudarto Bachtiar, dalam puisinya pernah bertutur:
“Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda.”

sumber: Tribunnews.com
‘Sangat muda’ ini diterjemahkan sebagai usia remaja, karena pada usia 13 tahun, para remaja Indonesia sudah pergi ke medan perang, memegang senapan, masuk ke dalam barisan-barisan pelajar. Mereka mungkin bertempur tanpa pengalaman. Namun, semua strategi militer yang rumit telah diperas dalam satu semboyan, “Merdeka atau Mati.”
Sebagai penulis, kami iri melihat museum-museum di negara maju begitu rapi, terurus dan ramai dikunjungi. Betapa bangsa lain menghargai sejarah mereka. Belum lagi literatur terutama novel-novel remaja populer mereka yang penuh kreativitas mengeksplorasi kisah heroisme di masa lalu. Padahal perjuangan merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia sendiri tidak kalah dengan bangsa-bangsa besar lainnya di dunia. Saat perang 10 November 1945 berkecamuk, kita bahkan belum memiliki tentara resmi. Sementara yang harus kita hadapi adalah tentara Winston Churchill yang berhasil mengalahkan Hitler.
Kami melakukan riset lewat literatur, film, dan puluhan wawancara dan menyelesaikan novel ini selama 3 tahun. Novel ini rampung karena begitu banyak pertolongan. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga Bapak Hario Kecik yang selalu menerima kami. Kami sangat sedih karena Pak Hario tidak sempat melihat buku ini terbit. Biarlah novel ini kami persembahkan untuk mengenang jasa-jasa para veteran perang seperti beliau bagi bangsa ini.
Cerita lengkap mengenai wawancara kami dengan Bapak Hario dapat di lihat di sini
Bapak Anhar Gonggong – Sejarawan
Kami juga menyampaikan penghargaan kepada Bapak Anhar Gonggong, sejarawan yang telah mendukung dan memberi semangat pada kami selama penyelesaian novel ini. Mas Ady Setiawan dan Komunitas Roode Bruig Soerabaia yang selalu mau diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan seputar sejarah Surabaya, Ibu Irma Devita sebagai penulis novel Patriot yang tidak pelit membagikan informasi berharga dan tulus membantu di tengah-tengah kesibukannya, Marjolein van Pagee, keturunan veteran Belanda dan Max van der Weff, blogger Belanda yang aktif mendokumentasikan Dutch War Crimes, yang telah memberi insight kepada kami dari sudut pandang Belanda Indo.
Ucapan terima kasih juga kami berikan kepada Bapak Batara Hutagalung, Yeri Pattinasarany, Mas Hendi Jo, yang memberikan banyak masukan mengenai latar belakang sejarah pada naskah kami. Dan tak lupa kami juga menyampaikan terima kasih pada Setia Budi Halim yang telah membaca, mengkritisi dan menyampaikan masukan-masukan berharga mengenai karakter dan alur cerita.
Pada akhirnya kami mempersembahkan novel ini kepada Pembaca dengan rasa bangga pada Indonesia tercinta. Kami bangga dengan sejarah bangsa ini. Kami bangga dengan perjuangan arek-arek Suroboyo. Hari pahlawan bukan hanya menjadi peristiwa bersejarah bagi Surabaya, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada akhirnya, novel ini ingin membawa kita pada satu perenungan. What does it mean to be a hero? What does the Heroes Day mean to you personally?
Ellen dan Sylvia
Untuk melihat sinopsis novel ini, silakan lihat di sini
Untuk membaca cerita bersambung City of Heroes, silakan lihat di sini