Jika kita hanya setitik kecil di antara kemegahan semesta, lalu apa yang membuat kita spesial?
Jika Anda menatap langit, ada sekitar 4000 bintang yang dapat terlihat dengan mata. Di mana posisi kita di alam semesta? Sekarang coba bayangkan, kita berada di Bumi, yang mengelilingi sebuah bintang bernama matahari. Namun matahari hanyalah salah satu bintang di antara ratusan miliar lainnya di Galaksi Bima Sakti. Dan Galaksi kita sendiri hanya salah satu dari sekian milyar yang ada di alam semesta. Terbayangkan? Betapa kecilnya kita. Kita hanya setitik kecil di antara alam semesta yang tak terhingga.
Lalu apa yang membuat kita spesial? Jika kita hanya setitik kecil di antara kemegahan angkasa?
Saya mulai tertarik pada astronomi ketika saya tinggal di Melbourne, 10 tahun yang lalu tepatnya. Ada hari-hari di mana tugas- tugas kuliah menumpuk dengan due date pengumpulan yang sudah di depan mata, biasanya saya dan Melly (teman satu rumah berasal dari Bali) berjanji untuk keluar kamar masing-masing setiap tiga atau empat jam sekali untuk rileks sebentar di ruang makan, sekedar menikmati teh panas di tengah-tengah udara musim dingin yang mencengkeram. Tapi seringkali di antara waktu-waktu itu, saya membuka pintu samping yang menghadap pekarangan belakang, menikmati kesunyian sendirian. Bukan jadi mellow atau sok romantis haha, but I do value my privacy.
Langit hitam pekat seperti beludru langsung menyambut saya. Dan itu benar-benar seperti beludru, saya tidak melebih-lebihkan. Lalu di atas sana, ada tiga titik membentuk sabuk yang sangat saya kenali—Orion, rasi bintang yang sangat dikenali di langit selatan.

Observatorium Bosscha
Kunjungan ke Observatorium Bosscha
Beberapa tahun kemudian, saya mempunyai kesempatan untuk menulis bersama Prof. Yohanes Surya, menulis sebuah science fiction remaja. Jadilah Tofi Perburuan Bintang Sirius. Sirius sendiri diambil dari nama salah satu bintang paling terang di langit. Kegiatan melihat bintang dan kutipan astronomi banyak dimasukkan ke dalam novel. Saya dan Sylvia—partner menulis saya, bersepakat pergi kesatu-satunya Observatorium di Indonesia yaitu Observatorium Bosscha untuk melihat pengamatan bintang secara langsung. Mendaftar melalui cara yang normal ke sana antrinya bisa sampai satu tahun! Akhirnya kami meminta Pak Yo, panggilan akrab Profesor Yohanes Surya, untuk mengirim surat resmi kepada Bosscha. Dan….yap, kami boleh datang kapan saja 😉
Saya pergi bersama Sylvia dan Budi, adik Sylvia yang juga adalah kritikus tulisan kami yang paling setia. Maklum Budi adalah penggila buku dengan analisanya yang super tajam, tapi betapapun tajamnya kritikannya kepada kami, kami tahu, pendapatnya harus diperhitungkan. Kalau Budi berkata adegannya sedih, itu artinya adegannya sangat sedih soalnya dia tidak mudah sedih lol.
Sesampainya kami di Bosscha, kami pun didampingi oleh Pak Ryan, salah satu astronom di sana. Pak Ryan lulusan Astronomi ITB, dia bercerita hampir semua teman-teman kuliahnya bekerja di Bank. Hanya sedikit yang menggeluti dunia astronomi. Maklum jadi ilmuwan di Indonesia mau makan apa? Dan mau meneliti pake dana siapa? Indonesia baru punya satu Observatorium itu juga karena jerih payah Bosscha, orang Belanda yang mencintai Indonesia. Padahal untuk Indonesia yang mempunyai tiga zona waktu, minimal kita harus mempunyai tiga observatorium.
Pekerjaan sehari-hari Pak Ryan adalah meneliti calon planet dan bintang baru. Bukan pekerjaan yang populer terutama di negeri ini, tapi keren ya? Ada beberapa teleskop kecil di Bosscha yang dilindungi oleh gubuk-gubuk kecil yang apik. Langit sunyi dan gelap Lembang, menolong pengamatan bintang. Sebagai catatan, pengamatan bintang harus minim cahaya, jadi di kota seperti Jakarta jangan harap kita bisa melihat Orion dengan mata telanjang. Dengan bangga dan agak miris, Pak Ryan bercerita Indonesia juga menyumbang sekrup untuk teleskop Hubble. Yah lumayanlah ya ;).
Meneliti Langit, Mengenal Bumi
Mengapa kita harus membuang uang untuk sains? Untuk Astronomi khususnya. Saya percaya, ketika kita melihat ke langit, kita bisa mengenal diri kita. Mengenal bumi kita. Ketika Galileo dan Giovanni Cassini melihat ke langit dengan teleskop mereka, kita tahu bahwa Bumi tidak sendirian. Bulan bukan lagi tempat para arwah pergi, tapi satelit yang setia pada Bumi.
Di dunia ini, sebuah tempat yang sunyi sama langkanya dengan langit yang benar-benar gelap. Dunia ini tertarik dengan lampu-lampu, suara berisik handphone dan derum tansportasi. Tapi tahukah Anda kalau setitik cahaya bintang harus berjalan selama ratusan tahun cahaya sebelum sampai ke mata Anda? Langit dan fenomenanya membuat kita sadar betapa rapuhnya kita. Betapa semua ini diatur oleh sebuah sistem yang tidak boleh kacau. Karena kalau bulan sedikit saja ngambek pada Bumi, maka air laut akan pasang. Bagaimana kalau matahari ngambek? Coba bayangkan.
Berdirilah dan pandanglah langit di atas sana, di saat-saat paling gelap. Nikmatilah setitik cahaya kecil yang sampai ke mata Anda. Anda akan menyadari bahwa Anda hanyalah setitik debu di antara ratusan miliar bintang-bintang, di sebuah galaksi di antara ratusan miliar-miliar-miliar bintang-bintang. Kita hanyalah setitik kecil di antara kemegahan kosmik.
Apa yang membuat kita spesial kalau begitu? Jika saya menengadah ke langit melihat kilauan bintang, saya menyadari saya begitu beruntung. Mungkin itulah yang membuat kita spesial, mendapat kesempatan menyaksikan keindahan yang tak terbayangkan seperti itu. Dan menyadari bahwa kita adalah makhluk yang diberi pengertian untuk merenungkan semua keindahan tersebut.